BERBAHAGIALAH

Dia datang padaku dengan sembab di matanya, seperti seorang anak yang datang pada ibunya saat punya masalah, seperti seekor anjing datang pada tuannya jika aku menggambarkannya dengan majas yang amat kasar. Dia duduk dihadapanku, wajahnya jauh berubah dari yang kuingat dulu. Air mata yang tertahan dengan kekuatan yang tersisa akhirnya jatuh juga, tapi dengan cepat dia mampu menguasai diri.
“Kau ingat tentang laki-laki yang kuceritakan padamu waktu dulu itu, kan?” dia memandangku

Ternyata laki-laki itu. Hahh.
“Laki-laki ini?” kataku padanya saat dia menunjukkan gambar laki-laki itu padaku dulu, “Aku jauh lebih tampan dari dia, jauh sekali”.
Dia menggumam pelan
“Jangan sendu begitu, dong” aku menyenggol bahunya “Wajah tak mempengaruhi hati. Kalau hatimu berdetak tak beraturan, mereka menyebutnya deg-degan, maka kau tak perlu khawatir. Lagipula kalian kelihatannya cocok, kok. Kelihatannya, ya” tawaku meledak membuat dia kesal dan meninggalkanku.
Mengingat hari itu, aneh rasanya jika dia datang padaku untuk membicarakan tentang laki-laki itu lagi setelah apa yang aku lakukan, meledeknya. Aku melihat suatu hal yang berbeda di wajah dan bajunya, dia memakai bedak tebal dan baju tangan panjang. Aneh.
“Kau masih ingatkan laki-laki yang kumaksud” katanya
Aku menerka-nerka apa yang terjadi padanya. Ini perubahan yang sangat ekstrim, meskipun itu tak mengurangi kecantikannya.
“Yang ini loh orangnya” dia menunjukkan gambar laki-laki itu. Gambar yang sama dengan yang ditunjukkannya padaku beberapa tahun yang lalu, aku tak tahu berapa tahun yang lalu, aku tak menghitungnya.
Namanya Rasmono. Laki-laki itu namanya Rasmono. Dia mengenalnya saat di kepanitiaan organisasi kampus dahulu. “Orangnya tinggi, wawasannya luas tampak dari caranya memilih kata-kata untuk tiap situasi. Dia tampan menurutku. Bukan senyumnya yang menarik hatiku.Dia anak EtnoMusikologi, loh.” Katanya dengan penuh kegirangan saat menjelaskan tentang lelaki itu padaku dulu dan aku tetap tidak setuju dengan kata tampan yang digunakannya.
“Kau tahu dia meneleponku semalam?”
“Apa katanya?”
“Banyak sih. Tapi intinya dia ngajak nonton film yang kau bilang kemarin”
“Trus kau bilang apa?”
“Aku tolak”
“Serius? Tapi kau kan?”
“Perempuan itu harus sedikit jual mahal. Agar kalian para lelaki menunjukkan kesungguhan hati kalian.” Kata-katanya begitu jelas kuingat. “Bisa juga orang ini berpikir taktis, ya?” pikirku kala itu.
Dia merapikan rambutnya. Lalu mengambil tisu di tasnya. Dia mengelap lipstik di bibirnya. “Aku lelah baru pulang dari kantor. Hari ini aku sangat sibuk. Maklumlah pengacara. Setiap hari pasti ada saja masalah yang ingin diselesaikan datang pada kami…”.
“Hei, apa untuk ini kau datang kemari???” jeritanku tertahan dalam hati saja. Aku tak sanggup memotong ceritanya. Bagaimana pun juga itu terserah dia mau cerita apa saja padaku.
“Mulai dari sengketa tanah, sengketa rumah, pemukulan, fitnah, KDRT, perceraian, hingga malpraktek.” Aku mendengarnya dengan seksama. “Setiap pagi aku datang pasti jumpa masalah. Hahahaha.”.
“Tidak apa-apa aku minum anggur disini,kan?” dia meminta ijinku. Aku hendak melarangnya dengan berbagai pertimbangan tapi, “Tak usah khawatir. Aku tidak bawa mobil,kok. Nanti kakakku yang menjemputku. Tidak apa-apa,ya?” aku tetap ingin melarangnya tapi dia sudah meminum anggurnya. Biarlah pikirku.
“Ray, kau tahu. Anggur dapat membuatmu mabuk…”
Aku sudah tahu itu
“Saat kau mabuk kau akan merasa rileks,Ray. Saat kau rileks kau akan dengan tenang mengatakan semua isi hatimu,Ray. Tanpa peduli apapun. Karena kau merasa tenang tadi. Itulah kenapa tujuh puluh lima persen kata-kata orang mabuk itu benar,Ray. Hahahahahaha.”
Sepertinya dia akan mabuk hari ini ditempatku.
“Seandainya kau minum anggur waktu itu pasti kau tidak akan tersiksa dengan perasaanmu,Ray”.
Anak ini akan mulai meracau.
“Kau tahu yang kumaksud kan,Ray. Marintan.”.
‘Marintan’ sebuah nama yang menarikku ke masa kuliah dulu. Dia anak teknik industri satu tahun diatas ku.
“Kau pasti tak akan terus menerus penasaran pada hatinya. Kini sampai mati pun kau tak tahu isi hatinya. Hahahaha”
Dia sungguh membuatku mengingat perempuan itu lagi. Perempuan yang hanya tinggal mengetahui arti dari semua kelakuanku. Namun, aku tak memberitahunya dan tak tahu hatinya.
“Kau ingat dulu, betapa senangnya hatimu hanya melihatnya lewat di depan mu, kau bahkan sangat rajin masuk kuliah gabungan Pengetahuan Lingkungan karena ingin melihat dia. Konyol.hahahahaha.” Tawanya benar-benar tak bisa digambarkan.
Perempuan ini sangat senang meledek kepengecutan ku. Tapi, dia memang benar. Andai saja saat itu aku mabuk pasti semuanya akan jauh lebih mudah. Marintan, dimana perempuan itu sekarang?
Marintan, seorang perempuan yang mampu membuatku menghabiskan waktu hanya untuk memandangnya. Aku melihatnya pertama kali saat masuk kelas pengetahuan lingkungan yang adalah mata kuliah gabungan. Sejak saat itu aku menyukainya. Alasannya? Aku tak tahu alasannya. Tanpa diketahui siapapun kecuali perempuan yang berdiri di depan ku saat ini aku mencoba mendekati hatinya. Akhirnya seperti yang dikatakan perempuan ini aku tak menanyakannya.
“Dasar kalian laki-laki semuanya sama saja. Kalian akan melawan laki-laki lain yang lebih tangguh apapun resikonya tapi pada perempuan kalian lemah bahkan anak teknik sekalipun. LEMAH.” Dia menenggak anggurnya lagi.
“Ray, aku tahu kau kesal aku baru bisa datang sekarang. Maafkan aku Ray. Aku sibuk” Dia tertawa. Tawa yang mengejek. Dasar aneh.
Setelah selesai dengan tawanya, dia diam seribu bahasa. Aku memandanginya, dia mulai tertunduk tangan kanannya yang masih memegang botol anggur digerakkan menuju wajahnya, lalu melakukan gerakan seperti mengusap. Perempuan itu cegukan sembari mengangkat wajahnya. Aku melihat air mata mengalir turun.
“Aku memang bodoh,ya.” Pernyataan itu diiringi dengan cegukan lagi, tangan kanannya mengusap air matanya lagi.
Aku sendiri merasa heran sekarang. Tak tahu harus bilang apa.
“Laki-laki yang kuceritakan padamu itu, sesungguhnya aku tidak mempunyai rasa apapun padanya.”
Aku terlonjak kaget mendengarnya.
“Dia yang terus menerus mengejarku, meskipun aku tidak peduli pada usahanya, ternyata dia lebih tidak peduli pada ketidakpedulianku.” Perempuan dihadapanku ini tersenyum, “Dia terus menerus datang, aku terpesona dengan usahanya.”
Dia berhenti untuk menegak lagi anggurnya.
“Sudah tinggal setengah botol lagi.” Katanya, dengan bangganya, melihat isi botol anggur yang dipegangnya, “Kurasa aku tak akan mampu lebih dari ini.”
Tubuhnya mulai tidak seimbang. Berjalan sempoyongan, dia mencari pegangan.
“Satu-satunya laki-laki yang aku sukai, eh, aku cintai itu…” dia cegukan, memegang perutnya, “Laki-laki itu kau. Kau Ray. Aku mulai merasa aneh dengan hatiku waktu melihatmu mendekati si Marintan itu. Aku sangat senang kalau kau lebih memilih pergi keluar dengan ku ketimbang dengan dia. Aku merasa, seperti katamu, jantung berdetak tak beraturan saat kau menarikku dan mengaku sebagai pacarku setiap kali teman-temanmu datang merayuku, juga saat kau menghawatirkan ku kalau lama kita tidak jumpa, dan saat kau menanyai Rasmono tentang kesungguhannya pada ku. Aku menyukai yang kau lakukan, Ray. Aku serius, Ray.”
“Ray, apa kau ada disini? Apa kau mendengarku?” Sophia mulai menangis, kali ini tersedu-sedan.
“Jika kau mendengarku, kau tak perlu merasa khawatir pada ku lagi.” Sophia berjalan ke arah makam tempat Ray dikuburkan. “Ray, aku menjalani hidup ku dengan baik saja. Minggu depan aku akan menikah dengan Rasmono, Ray. Kau yang bilang pada ku untuk mencintainya, maka aku mencintainya. Beristirahat lah dengan damai teman terbaik ku. Kau yang terhebat.”
Dengan mobil Jaguar hitam, kakaknya datang menjemput. Membawa bunga tabur untuk makam Ray. Diberikannya bunga tabur itu pada Sophia yang masih dengan tangisnya menerima bunga itu. Kakaknya mengingatkan sembari memegangi pundak adiknya itu untuk tidak menangis saat menaburkan bunga untuk meyakinkan pada Ray kalau dia baik-baik saja.
Sophia menuruti kakaknya. Mereka pergi pulang.
Aku senang dengan pengakuannya. Aku bisa pergi sekarang. Hiduplah dengan bahagia Sophia.

DIBUAT OLEH: FABRY PURBA

Posted in cerpen | Leave a comment

AMIN

Cerpen F Rahardi

Laki-laki itu berusia setengah baya, berperawakan biasa, berkulit biasa, berwajah biasa, berambut biasa, berbaju dan bercelana biasa, mengenakan sepatu yang juga biasa-biasa saja.
Barangkali di kantong baju dan celananya juga tersimpan benda-benda biasa seperti dompet, sisir, ballpen, dan dalam dompet itu ia taruh uang, kartu identitas, dan lainlain.
Laki-laki itu duduk bersila dengan takzim. Dua tangannya ia sedekapkan ke dada, dan pandang matanya mengarah lurus ke depan. Dia diam saja, hanya kalau ada orang lewat di depannya ia akan berkata: ”Amin”. Orang-orang menengoknya sebentar lalu berlalu. Satu dua orang segera menjatuhkan uang logam lima ratusan, lembaran ribuan, dua ribuan, lima ribuan, bahkan ada beberapa yang menaruh lembaran uang dua puluh ribuan, lima puluh ribuan, dan seratus ribuan. Ketika orang-orang itu menjatuhkan, melemparkan atau menaruh uang di depannya, laki-laki itu berucap dengan suara dan nada biasa: ”Amin”.

Tidak lama kemudian, uang itu menumpuk cukup banyak di depannya. Tetapi laki-laki itu tetap hanya menatap jauh ke depan, dan ketika orang-orang lewat, dengan atau tanpa menjatuhkan uang, ia berucap ”Amin”. Satu dua orang lalu menyempatkan diri untuk berhenti sejenak, di dekat tempat laki-laki itu duduk bersila. Beberapa orang kemudian juga ikut berdiri di sekitarnya, sambil terus memandangi laki-laki yang hanya duduk dengan biasa itu. Orang-orang berkerumun, memandang curiga, ada yang bertanya-tanya dalam hati, ada yang menduga-duga. Bagi mereka, laki-laki itu sungguh tidak biasa.
”Mengapa ia duduk bersila di trotoar Jalan Merdeka Utara, pas di depan Istana Merdeka?” tanya seseorang dalam hati. ”Mengapa tatapan matanya ia arahkan lurus ke depan, tertuju ke pintu Istana Merdeka?” tanya yang lain juga dalam hati. ”Siapakah dia?” tanya yang lain lagi, juga dalam hati. Lama-lama ada yang memberanikan diri bertanya entah kepada siapa, dan pertanyaan itu ia ucapkan pelan tetapi jelas: ”Ada apa sih ini?” Serentak beberapa orang mengarahkan pandangan mereka ke orang yang bertanya tadi, dan satu dua orang segera menimpali: ”Dia ini minta-minta, atau demo, atau semedi, atau apa ya?” Ketika pertanyaan-pertanyaan itu selesai diucapkan dengan tak beraturan, laki-laki yang duduk bersila itu menjawab: ”Amin.”
Di gerbang Istana Merdeka itu ada beberapa Paspampres. Di ujung barat laut Jalan Silang Monas itu juga selalu ada polisi berjaga-jaga. Mereka segera mengarahkan pandang mata mereka ke arah kerumunan orang di trotoar Jalan Merdeka Utara itu. Ketika kerumunan orang itu tambah banyak, dua orang polisi segera mendekat, memberi isyarat agar kerumunan orang itu menyibak, lalu tampaklah gundukan uang, dan laki-laki yang duduk bersila, memandang Istana Merdeka. Dua polisi itu juga heran. Bagi mereka, laki-laki ini tidak biasa. Maka mereka berdua lalu mendekat dan bertanya: ”Ada apa ini?” Belum sempat kerumunan orang menjawab, laki-laki yang duduk bersila itu berucap: ”Amin”.

Dua polisi itu lalu menyuruh kerumunan orang bubar. Setelah kerumunan orang itu bubar, salah satu dari dua orang polisi itu menyuruh laki-laki yang duduk bersila untuk segera pergi. Laki-laki bersila itu menjawab: ”Amin”. Polisi itu kesal: ”Saudara mau main-main dengan aparat ya?” Laki-laki itu tetap duduk bersila, tangannya tetap sedekap, matanya tetap mengarah ke Istana Merdeka, dan mulutnya kembali berucap: ”Amin”. Salah satu polisi mendekat lalu menendang laki-laki yang duduk bersila itu dengan sepatu larasnya. Laki-laki itu menerima tendangan sepatu dan menjawab: ”Amin”. Polisi kembali menendang lebih keras lagi dan kembali laki-laki itu menerima tendangan dengan jawaban: ”Amin”. Berulang kali polisi itu melayangkan tendangan dan selalu dijawab dengan ”Amin”.
Polisi yang sebelumnya berada di dekat truk yang diparkir di pojokan Silang Monas itu, segera berdatangan, demi melihat teman mereka melayangkan tendangan berulang kali kepada laki-laki yang duduk bersila. Ketika kerumunan polisi itu datang, maka laki-laki yang duduk bersila itu menyambut dengan ucapan: ”Amin”. Salah satu polisi yang membawa bedil segera mengarahkan popor bedil ke kepala laki-laki yang duduk bersila itu, lalu mengayunkannya: Prak! Laki-laki itu menyambut pukulan popor bedil dengan ucapan: ”Amin”. Beberapa polisi lalu ikut mengeprukkan popor bedil mereka ke kepala, leher, pundak, perut, dada, bokong, pinggang, dan kaki, dan semua selalu dijawab dengan: ”Amin”. Kejengkelan para polisi itu naik sampai ke ubun-ubun.
Mereka menyepak tumpukan uang itu hingga berhamburan ke jalan raya. Mobil-mobil serentak melambatkan jalannya hingga Jalan Merdeka Utara macet. Para polisi lalu bergotong-royong mengangkat tubuh laki-laki yang duduk bersila itu. Ada yang memegangi kepalanya, ada yang menjambak rambutnya, ada yang menarik bajunya, ada yang mencengkeram pundaknya, dan semua dijawab laki-laki itu dengan ucapan: ”Amin”. Polisi-polisi itu kecapekan dan laki-laki itu tetap duduk bersila, tetap mendekapkan tangannya di dada, dan pandang matanya masih terarah ke Istana Merdeka. Sesekali ia ucapkan: ”Amin”. Dan ucapan itu membuat hati para polisi yang kecapekan jadi galau.
”Amin”. Kata laki-laki itu ketika dari arah seberang serombongan Paspampres datang. Kata undang-undang, kalau polisi tak mampu mengatasi keadaan, maka tentara akan membantu. Gas air mata segera disemprotkan: Bres! Kanon air juga ditembakkan: Byur! Salah satu Paspampres segera mengokang bedil dan menembakkannya ke arah laki-laki yang duduk bersila itu: ”Amin”. ”Ini tadi kau tembakkan peluru tajam atau peluru karet?” tanya polisi kepada tentara. Dijawab tegas: ”Amin”. Dari arah barat lalu datang forklift, dengan dua paruhnya yang runcing mencecar ke depan. Forklift itu mengarah ke trotoar tempat duduk laki-laki setengah baya itu. Setelah maju mundur dan goyang kiri kanan, meratakan paruhnya sejajar trotoar, forklift itu maju dengan lurus mencocok pantat dan paha laki-laki yang duduk bersila itu.

Setelah posisi paruh itu pas, forklift segera menderu-deru mengangkat tubuh berukuran biasa itu dengan sekuat tenaga. Laki-laki itu tetap duduk di sana dengan takzim, tetap bersila dengan khidmat, tetap menyilangkan tangannya di dada, dan pandang matanya lurus ke arah Istana Merdeka. Ia menyalami forklift yang tak berdaya mengangkatnya itu dengan ucapan: ”Amin”. Maka, tak berapa lama kemudian bertebaranlah melalui BB, melalui FB, melalui kicauan di Twitter, melalui SMS, ihwal ada seorang laki-laki biasa, yang diberondong peluru tajam, disemprot gas air mata, disiram kanon air, diangkat dengan forklift, dan semua itu selalu dijawab: ”Amin”. Di antara mereka yang disambar berita berseliweran itu, ada yang kemudian menyempatkan diri datang ke depan Istana Merdeka. Maka kerumunan massa pun tak bisa dicegah.
Massa itu datang dari Sentiong, Salemba, Kramat, Kwitang, Tanah Abang, ada yang berkaus merah, ada yang berbaju kuning, ada yang berkolor hijau, mereka mengacung-acungkan tangan sambil berteriak-teriak: ”Amin, Amin, Amin…!” Bersamaan dengan itu, aparat keamanan juga disiagakan. Mereka datang dari mana-mana dengan naik truk, jip, mobil kanon air, dikawal panser, dan ambulans. Sirene meraung di mana-mana, dan semua itu dijawab oleh lautan massa dengan teriakan ”Amin, Amin, Amin……!” Polisi berupaya untuk melingkari laki-laki yang duduk bersila itu dengan pita kuning dan dilapis dengan untaian kawat berduri. Dari kejauhan, laki-laki yang duduk dengan takzim itu lalu tampak seperti pengantin, yang dihias pita dan bunga-bunga, yang diterimanya dengan ucapan: ”Amin”.
Cuaca di sekitar Monumen Nasional dan Istana Merdeka sebenarnya juga tetap biasa-biasa saja. Kadang sedikit mendung, tetapi ketika angin datang, matahari kembali tampak dan udara jadi panas. Laki-laki itu tetap masih duduk di tempat semula dan basah kuyup oleh semprotan kanon air, yangmenyejukkan badan dan jiwa, dalam cuaca siang kota Jakarta yang gerah. Ia tetap duduk bersila dengan dua kaki disilangkan, dengan dua tangan disedekapkan, dengan pandangan mata tertuju ke Istana Merdeka. Rombongan berkaus warna-warni itu mendekat, salah seorang di antara mereka naik ke pundak dua orang temannya, lalu dengan megaphone di tangan ia berorasi: ”Saudara-saudara semua, di depan kita ada ’satrio piningit’. Lihatlah, ia sakti, matanya terarah lurus ke pintu Istana Merdeka, ialah Ratu Adil yang akan memimpin negeri ini.” Laki-laki itu menjawab: ”Amin”.
Dari langit yang biru cerah, terdengar raungan suara helikopter. Setelah berputar-putar selama empat kali, heli itu merendah, lalu mendarat di halaman Istana Merdeka. Turunlah kemudian beberapa laki-laki yang berperawakan biasa, berwajah biasa, berkulit biasa, rambutnya tak ketahuan biasa atau tak biasa, sebab tertutup topi. Pakaian dan sepatunya juga biasa, tetapi di di pundak dan di dada mereka tertempel tanda-tanda pangkat. Salah satu di antara mereka membawa tongkat komando, mendekati laki-laki yang duduk bersila itu, lalu bertanya: ”Anda ini siapa dan maunya apa?” Dijawab: ”Amin”. ”O, jadi nama saudara Amin?” Dijawab: ”Amin”. ”Saudara Amin, Saudara telah melanggar Perda Nomor 8 tentang Ketertiban Umum dan juga Pasal 6 UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum. Apakah Saudara bisa mendengar saya?” Dijawab: ”Amin”.
Laki-laki bertongkat komando itu kesal hatinya. Dia mencabut pistolnya, ia kokang, ia arahkan laras pistol itu ke pelipis laki-laki di depannya, lalu pelatuk ia tarik: Dor! Laki-laki yang duduk bersila itu menyambut tembakan pistol dengan ucapan: ”Amin”. Ucapan ”Amin” itu ternyata telah membuat kalap laki-laki bertongkat komando dan berpistol yang berdiri di depannya. Dia segera memberi aba-aba agar panser, tank, dan buldoser mendekat. Maka tank berjalan di depan seraya menembakkan senapan mesin. Batang pohon trembesi yang berdiri kokoh itu bolong-bolong. Tank terus melaju mendekati laki-laki yang duduk dengan takzim itu. Massa yang menyemut di sekitar Jalan Silang Monas merangsek maju: ”Amin, Amin, Amin.” Laki-laki itu tetap duduk, bersedekap, dan memandangi Istana Merdeka dengan pilar-pilarnya yang kokoh bercat putih.
Tank maju naik ke trotoar, menabrak dan melindas laki-laki yang duduk bersila di trotoar itu, lalu disambut dengan ucapan: ”Amin”. Buldoser menyerok laki-laki yang telah diberondong senapan mesin dan dilindas tank itu, dan juga dijawab: ”Amin”. Massa terus maju diiringi teriakan: ”Amin, Amin, Amin.” berulang kali terus-menerus susul-menyusul. Kawat duri, pita kuning garis polisi semua ditabrak dan dilindas massa. Mereka melingkari laki-laki yang tetap duduk dengan takzim itu, dan massa juga ikut duduk bersila menyedekapkan tangan, dan mata mereka memandang ke Istana Merdeka. Laki-laki itu menyambut kedatangan massa yang ikut-ikutan duduk di sekitarnya dengan ucapan: ”Amin”. Dan massa melanjutkannya dengan gema yang menggemuruh: ”Amin, Amin, Amin!”
Panser, tank, buldoser, semua capek dan pegal-pegal. Sekrup-sekrup dan baut terasa ngilu. Mereka lalu minggir dan berteduh di bawah tajuk angsana yang rimbun. ”Kami ini sudah terlalu tua,” kata tank memelas. Disambut panser: ”Gua juga agak gemetaran karena tadi belum sarapan.” Buldoser mendekam dekat pagar besi, dan laki-laki itu menjawab: ”Amin”.
Berikutnya, laki-laki itu menarik napas agak panjang, berkedip-kedip, menengok ke kiri dan kanan, tangan ia rentangkan, lalu ia berdiri. Pelan-pelan ia berjingkat melangkahi massa yang duduk bersila itu, lalu berjalan di antara orang-orang, anak-anak muda, kaus merah, celana putih, seragam polisi, baju tentara, ia terus berjalan, sementara angin dari Laut Jawa melompati atap Istana Merdeka, menggoyang-goyang dahan angsana dan ranting trembesi. Laki-laki itu terus saja berjalan dan hilang ditelan kerumunan massa: ”Amin”.

Sumber :
Kompas Cetak
Editor :
Jodhi Yudono

Posted in cerpen | Leave a comment

Manusia yang melihat masa depan

Cerpen M. Nurcholis

#1

Kulipat waktu, lalu kumasukkan ke saku.
“Mas, apakah kau benar-benar mencintaiku?”
“Tentu, Divine. Engkaulah wanita yang kuharap selama ini. Tidak ada ragu sedikitpun darimu. Engkaulah Laila yang membuatku– Majnun, tergila-gila kepadamu”
“Terima kasih, Mas..”
Peluk hangat meresap ke sekujur badanku. Kemudian kami berbaring bersama di bawah purnama, di atas Tugu Monas Jakarta.
Divine. Bagaimana tidak kumencintaimu. Engkau perempuan dengan visi yang luar biasa yang pernah kujumpa. Berpuluh-puluh wanita telah kugauli dengan melihat visinya, masa depannya. Aku berhubungan dengan mereka karena mereka membutuhkan kasih sayang. Tentu, aku tidak akan menjalin kasih dengan wanita sembarangan. Masa depan mereka tidak akan berantakan. Setidaknya mereka akan hidup normal sediakala seperti sebelum mengenalku.
Kau tahu, Divine. Karena aku bisa membaca masa depan. Sejelas bulan akan berwujud purnama pada tanggal lima belas Lunarian. Jika melihatmu, kulihat terang. Kulihat jalan panjang menjulang bermandikan cahaya di sisi-sisinya. Bagaikan Tangga Yakub yang berkilau. Aku seperti akan menemui Tuhan.

#2
Tidak begitu jelas kapan pertama kalinya aku bisa melihat masa depan. Yang kuingat, saat aku kelas empat, sewaktu ada pemilihan Camat, aku melihat Pak Rohmat yang mempunyai usaha jamu dan obat memegang piala di atas podium. Kukatakan pada Bapak, “Pak Rohmat adalah Pak Camat”. Dan Bapak mengatakan kepada teman sejawat. Teman sejawat Bapak menceritakan kepada kerabatnya. Kerabat dari teman sejawat Bapak menceritakannya kepada temannya yang bekerja sebagai Satpam Kabupaten. Sampai-sampai satu Kabupaten, termasuk Pak Bupati mengetahui kabar itu.
Saat penghitungan suara, semua orang terbelalak. Orang-orang belingsatan seperti punya bisul di pantat. Pak Rohmat menang mengalahkan tiga kandidat lainnya dengan perbandingan yang tidak masuk akal, 56:24:15:5. Padahal Pak Rohmat baru saja berumur tiga puluh empat.
Pak Rohmat berjaya. Aku diarak keliling desa. Diangkat-angkat. Dimintai nasehat, dimintai berkat. Lalu, akhirnya Bapak membuat padepokan di depan rumah. Membikin orang-orang supaya mengantri jika hendak bertemu denganku.
Mereka berarak-arak, berjubel-jubel minta nasihat dan berkat. Saat itu aku tak kuat. Kulihat masa depan beribu orang. Bahagia, nestapa, sukses, hancur, mulia, hina dan kematian. Aku menangis-nangis tiap hari. Sampai akhirnya, Bapak memberikan segelas air ledeng kepada para pengunjung dan berucap air tersebut sudah dijampi-jampi olehku.

***
Aku melihat api berkobaran.Aku melihat orang-orang membawa parang dan aku melihat rumahku hilang tanpa jejak.
“Bakar rumah itu, Bakar!!”
“Hilangkan kemusyrikan dari desa kita!!” Begitu teriak-teriak warga sambil membawa obor yang menyala.
“Mana Karta? Mana anaknya?! Bawa semua keluar!” seorang lelaki bersorban memerintahkan beberapa pemuda berbadan kekar.
“Penyembah iblis! Penyembah iblis!!” Mata orang-orang memerah. Parang di tangan diacung-acungkan. Sumpah serapah terlontar. Mereka telah kerasukan.
“Potong tangannya!” seru pemuda bersenjata parang.
“Potong kakinya!” seru yang lainnya.
“Potong kepalanya!” seru iblis dari kejauhan.
Lalu, semua memekat dalam angkara. Awan hitam menggelayut di atas desa. Cuma desa itu saja. Lain berhias bintang.
Aku merasa gila. Kepalaku seakan mau meledak. Hingga akhirnya, pada malam purnama aku meninggalkan rumah. Pergi ke entah.
Dua hari kemudian kudengar kabar di kampungku terjadi kekacauan. Rumah seorang dukun dibakar dan diporak-porandakan. Penghuninya dibunuhi, dimutilasi, lalu dibuang ke api yang berkobar. Warga murka karena semua yang berobat menemui ajal dengan perut yang membusung dan cairan muntah yang keluar dari mulut.

#3

Hidup menumpang pada keluarga Sukam adalah pilihan. Dari sini kemudian aku menjalani hidup yang normal. Aku bisa bersekolah dan bermain dengan teman-teman, tentu membuat hati bahagia. Namun, bayang-bayang masa depan tetaplah mengusikku. Suatu waktu kulihat Martabat menggenggam pistol. Kemudian berdiri di depannya Ahmad. Tiba-tiba saja peluru bersarang pada dahi Ahmad. Sehari kemudian martabat masuk koran kriminal dengan judul berita: “ANAK POLISI MAIN PISTOL BABENYA. PAMERIN KE TEMEN. MAEN PISTOL-PISTOLAN. DIDOR KEPALA TEMENNYA. MATI DEH..”
Aku menjadi anak yang murung. Di pundakku seakan terpanggul beban yang maha dahsyat. Aku mampu melihat masa depan, namun terlampau banyak yang tidak bisa kurubah.
Soal prestasi, tentu tidak usah ditanya lagi. Aku selalu menjadi juara. Guru-guru takjub dibuatku. Nilaiku selalu sempurna, tidak ada cela. Ini semua karena aku bisa melihat masa depan. Kuintip soal-soal ujian, lalu kusiapkan jawaban malam sebelumnya. Sampai-sampai pihak sekolah memanggil kedua orang tua tiriku.
“Anak Anda luar biasa jenius!” begitu kata Ibu Guru Dorman, Kepala Sekolah.
“Karena dia sekolah ini jadi terkenal. Mulai sekarang, Bapak tidak usah membayar biaya sekolah Maskur. Malahan, kami akan membayar Bapak lima ratus ribu rupiah per bulannya.”
“Asalkan Bapak mengijinkan putra Bapak mengikuti semua perlombaan mewakili sekolah. Bagaimana, Pak?” Bu Guru Dorman mencondongkan kepalanya, menunggu jawaban setengah mengiba.
“Oh, tentu.. Tentu Ibu.” bayangan lima lembar ratusan ribu telah menyala-nyala di matanya.
“Silahkan saja, saya sangat mendukungnya. Ini semua juga untuk kebaikan dia.”
“Tapi maaf, sepertinya kami butuh uang tambahan, karena Maskur juga membantu kami berjualan kue di sekolahan. Kalau bisa nih, Bu, saya minta tambahan untuk itu. Maklum lah, Bu, kami orang tidak berpunya.” papar Sukam dengan senyum lebar penuh harap bejat.
“Oh, baiklah Pak.. tidak masalah.”
Lalu, mulailah aku hidup dalam kamp konsentrasi. Aku disuruh melahap buku tebal-tebal, mengikuti latihan-latihan soal sampai larut malam, benar-benar membosankan. Sudah, akhiri saja semua ini. Aku bisa mendapatkan semua medali yang mereka minta. Perunggu, perak, emas atau berlian sekalipun!
Aku muak. Sudah lima medali telah kupersembahkan kepada sekolah yang gila nama itu. Dipromosikannya seolah-olah prestasi ini adalah hasil pendidikan yang terbaik akademiknya. Dan tak tanggung-tanggung, pada medali emas yang kesepuluh, yang kuperoleh di Korea, biaya sekolah tiba-tiba naik tiga kali lipat. Benar-benar keterlaluan. Akhirnya aku mogok belajar (selama itu aku tinggal di asrama milik Organisasi persiapan olimpiade pelajaran yang dikhususkan menggembleng anak negeri berprestasi).
Aku ingin kembali sejenak ke rumah. Untuk melunaskan visiku selama ini. Visi yang teramat pedih bila kuperbuat terus seperti ini.
“Maskur?! Mengapa kau pulang, nak?” Istri Sukam seolah tidak menginginkan kepulanganku.
“Aku sudah bosan, Bu. Aku ingin hidup normal.” Jawabku sambil berlalu menuju ke kamar.
“Tapi, Nak. Kau harus belajar. Buatlah bangga kedua orang tuamu ini.” Sukam menambahkan, namun pintu kamar keburu kubanting. Lantas aku menangis tersedu di dalamnya.
Malam harinya, setelah makan malam yang bisu, mereka beranjak ke peraduan. Aku pergi ke dapur mengambil dua pisau besar-besar. Lalu setelah kedua laki-bini itu terlelap, kutusukkan pisau tepat di jantung mereka. Kematian yang sesaat, dan tentu melegakanku. Karena di masa depan aku melihat mereka berwujud menjadi dua ular besar yang menjilat-jilat dan melilitku.
Aku memang terlahir sendiri. Sendiri di dunia yang sepi ini.

#4
Dahulu aku pernah beranggapan bahwasanya pemerintah tidak becus mengatur negara ini. Pengangguran, kemiskinan, pendidikan rendah selalu jadi masalah. Namun, satu hal yang membuatku terkejut (tentu aku terkejut sebelum mengalami hal ini secara langsung) adalah bahwasannya Dinas Intelijen negara ini sangat hebat. Bukan. Bukan Dinas Intelijen yang seperti negara ini publikasikan ke khalayak ramai, tetapi Dinas Rahasia yang benar-benar Rahasia.
Aku yang seharusnya masuk bui karena telah membunuh kedua orangtua tiriku ternyata dibawa ke suatu pulau asing. Disana aku benar-benar diperlakukan bagai tuan. Semua kebutuhanku terpenuhi. Sungguh.Kebutuhan apapun. Harta yang bergelimang, hiburan yang memabukkan dan tentu saja wanita. Akan tetapi untuk yang satu ini, aku memperhatikan benar tentang masa depannya. Tidak semuanya aku terima. Tentu saja karena kuingat, dahulu aku berasal dari rahim seorang wanita.
Aku bagai raja disini. Namun, suatu waktu aku sering dipanggil. Dibawa ke ruangan sepi yang kosong. Disana, biasanya, dua orang berbaju safari hitam-hitam sudah menunggu. Wajahnya serius dengan kacamata minus.

“Apa kabar, Saudara Maskur? Anda kerasan tinggal di Pulau Impian?” tanya lelaki setengah baya yang memakai topi.
“Ya, sangat mengesankan. Saya kerasan tinggal disini. Ada perlu apa saya dibawa kesini?”. Meskipun aku tahu mereka hendak menanyakan apa, aku berpura-pura bertanya.
“Haha.. harusnya tidak usah saya katakan perihal maksud saya pada Anda” petugas yang nampak lebih muda terkekeh.
“Namun baiklah, Tuan Penakar Masa Depan, biar saya ceritakan dahulu.” Ia membetulkan posisi duduknya hingga kemudian tepat menghadapku. Mata kami beradu. Meja ini sebagai batas.
“Anda pasti tahu di dunia ini orang yang seperti Anda hanya ada dua. Satu di Amerika (Serikat maksudnya), dan yang satunya sedang duduk di hadapan saya.”
Aku mengangguk, “Ya, beberapa menit sebelum kau mengatakannya aku sudah mengetahuinya”
“Hahaha.. bukan main!” agen muda itu kembali terbahak.
“Ya, mereka telah meramalkan masa depan.” mungkin karena muda, agen tersebut bercerita penuh semangat.
“Mereka menang dalam perang, ekonomi dan gaya hidup karena telah memperkirakan kejadian yang akan terjadi serta tindakan tepat yang perlu diambil. Mereka mempunyai orang seperti Anda. Orang terpilih, seorang Nabi.” kata-kata terakhirnya membuatku muak.
“Ya, itu pasti.” jawabku datar.
“Lantas, apa mau kalian?” tanyaku pura-pura.
“Tuan Penakar Masa Depan yang budiman, inilah saatnya, inilah waktu anda untuk membangkitkan negara ini. Saat kita untuk berjaya.” Petugas paruh baya yang terlihat kebapakan mencoba meyakinkanku.
Kujawab dengan anggukan enggan. Mengapa? Karena aku melihat langit tiba-tiba berawan hitam, sangat pekat. Mitralyur bersahut-sahutan. Rudal berceceran di angkasa. Langit runtuh dan bumi hancur tak bersisa.

#5

Negaraku saat ini besar. Beberapa kali usaha-usaha untuk memecah belah kesatuan bangsa telah berhasil kugagalkan. Kalian tau? Gerakan separatisme dan orang-orang yang mereka bilang teroris-teroris itu tertangkap karena jasaku. Dan pencapaian yang terbesar adalah Negara ini berhasil memperluas daerah kekuasaannya sampai satu Pulau Borneo penuh! Sebuah konfrontasi militer yang sangat elegan. Tanpa adanya pertentangan dari negara manapun di dunia ini.
Ekonomi kita kuat. Semua kegiatan kembali ke jaman purba: barter atau berdagang menggunakan mata uang emas. Jangan kautanya posisi kita di dunia. Hanya Amerika dan Israel saja yang bisa menandingi kita.
Suatu pagi aku diundang Bapak Presiden untuk menghadiri jamuan minum teh bersama. Aku ini orang besar. namun tidak dikenal orang, tentu dengan alasan keamanan. Intelijen secara umum tidak mengetahui kemampuanku. Yang dunia tahu, Bapak Presiden yang telah mengubah Negara dan Dunia.
“Wahai Tuan Penakar Masa Depan yang Terhormat, sudilah kiranya Engkau menemaniku jalan-jalan berkeliling Taman Kota. Aku ingin melihat langsung rakyat-rakyatku. Pun mencari ilmu darimu sepanjang perjalanan.” begitu pinta Bapak Presiden.
Pantas saja, penampilannya kurang kukenal. Kaos oblong, celana training dan sandal jepit serta topi telah dikenakannya.
“Baiklah, Pak. Mari kita jalan-jalan. Akan tetapi, saya mengajukan satu syarat.”
“Apakah itu?” Bapak Presiden mengernyitkan dahi.
“Bapak tidak boleh memprotes, atau melarang semua perbuatan saya selama perjalanan sebelum kita kembali lagi ke tempat ini.” jawabku.
“Baiklah, saya setuju. Justeru dari situlah aku ingin tau apa yang akan engkau perbuat dan dari situ jualah aku memperoleh pelajaran.
“Mari..”

***
Taman Kota lumayan sepi. Di beberapa titik sekelompok keluarga tengah berguarau. Anak-anak bermain lompat tali sedang yang lainnya hanya sekedar duduk di pinggir rerumputan.
Di pinggir danau taman, jauh dari keramaian, seorang anak sedang berjongkok memandang permukaan danau yang tenang. Kami hampiri dirinya. Dari belakang, kutendang pantat anak itu sampai ia terperosok ke danau berlumpur yang dalam.
“Apa yang kau lakukan!!” Bapak Presiden memekik.
Anak tersebut berkecipak, menggapai-nggapai udara. Meminta tolong. Namun posisinya terlampau susah untuk dilihat orang. Akhirnya, hanya buih-buih udara yang menyembul-nyembul perlahan, hingga menyisakan danau yang tenang.
“Kau gila, Maskur!! Anak itu tidak berdosa. Mengapa kau bunuh?!!”Bapak Presiden muntab.
“Bapak masih ingat kesepakatan kita di awal?” kutanyakan dan dia masih terdiam.
“Mari kita lanjutkan..”
Selama perjalanan itu, Bapak Presiden terlihat agak kaku. Akan tetapi, sebagai seorang negarawan ia bisa mengalihkannya dengan pembicaraan-pembicaraan lainnya. Aku menceritakan perihal masa kecilku serta kepedihan hidup sampai diketemukan oleh Negara ini. Dan ia, tentu saja berbicara masalah Negara. Tentang cita-citanya mewujudkan Sumpah Palapa Patih Gajah Mada, serta keinginannya untuk menjadikan Negara ini.. Penguasa Dunia.
Kami melewati sekelompok tukang kebun taman yang sedang bekerja dan menanam beberapa pohon peneduh, kemudian kuhampiri salah satu tukang kebun yang hendak menanam pohon beringin.
“Maaf, pak. Sebaiknya Bapak jangan menanam pohon di sebelah sini.” jelasku kepada tukang kebun itu.
“Memangnya kenapa, Pak?” jawabnya bingung.
“Begini, dilihat dari estetika kurang sedap jika dipandang dari kejauhan, mendingan Bapak tanam di sebelah tanaman alamanda itu, pasti terlihat indah nantinya.” kukarang-karang alasan yang masuk akal.
“Oh, baiklah.. terima kasih atas sarannya.” kemudian tukang kebun itu berlalu.
Bapak Presiden terheran,namun kali ini peristiwanya tidak terlalu fenomenal, jadi ia simpan rasa penasarannya di akhir perjalanan nanti.
Jalan setapak sepanjang taman telah kami lalui. Hingga kami telah sampai pada titik awal kami berangkat.
“Nah, sekarang coba kau ceritakan apa maksud kedua perbuatanmu tadi barusan?” Tanya Bapak Presiden.
“Orang-orangku sudah mengecek keberadaan anak itu, dan tidak dapat ditolong lagi. Apabila kau tidak memberikan alasan yang jelas, kau bisa kupidanakan.” tambah Bapak Presiden.
“Baiklah, coba dengarkan dengan seksama.” Kami duduk di bangku taman.
“Perihal anak yang kutenggelamkan, karena kulihat di masa depan anak tersebut menjadi musuh dunia. Khususnya Negara kita ini. Kesukaannya merenung telah membuat Iblis merasukinya. Jika kubiarkan, dunia bisa kiamat.” jelasku.
“Baiklah, aku bisa menerima hal itu. Dan jika memang benar, lagi-lagi engkau telah menyelamatkan Negara ini,” tanggap Bapak Presiden.
“Lantas, bagaimana dengan tukang kebun di taman itu?” Tanya Bapak Presiden kemudian.
“Oh, tentang itu. Ini adalah rahasia besar. Dibawah tanah, tepat yang hendak ditanami pohon beringin itu tersimpan cadangan Uranium yang sangat melimpah. Aku takut karena akar Beringin nantinya menembus saluran yang sudah terbangun secara alami di bawah tanah itu. Karena memang jaraknya tidak terlalu jauh dari permukaan.” jelasku.
“Apa? Uranium?” tanya Bapak Presiden heran.
“Ya. Sumber energi masa depan dunia. Melimpah. Sangat melimpah.” tandasku.
Bapak Presiden tidak bisa menyembunyikan kegirangannya. Wajahnya sumringah. Dan banyak rencana telah menyala-nyala dalam pikirannya.
“Maaf, Pak. Sebenarnya masih ada satu pelajaran lagi yang hendak saya berikan kepada Bapak.”
“Oh, apakah itu? Lekas katakan. Aku siap mendengarnya.” Bapak Presiden sangat bersemangat.
“Sebenarnya, Pak. Kelak ada pemimpin dari salah satu Negara yang akan merubah dunia. Memimpin armada perang yang sangat hebat dengan strategi yang luar biasa. Wilayahnya terbentang dari mulai Sungai Eufrat sampai Sungai Nil. Bukan, bukan diantara keduanya yang Anda anggap Negara Mesopotamia. Tapi di antaranya yang satunya. Yang luas tak terkira itu.” aku menjelaskan ini dengan hati yang berat.
“Maksudmu, dimulai dari sungai Eufrat, terus ke Timur sampai bertemu sungai Nil itu? Bukan main luasnya! Hampir seluruh dunia!” Bapak Presiden berdecak kagum.
“Ya, kecuali Israilia Raya. Karena nantinya ada yang menghancurkannya yang akupun tidak bisa melihatnya.” tambahku.
“Lalu, siapa pemimpin besar itu? Siapa? Lekas katakan..” tanya Bapak Presiden gusar.
Perlahan aku membuka ikat pinggang. Tanpa sepengetahuan Bapak Presiden aku mengeluarkan sebilah tipis logam tajam dari dalam sarung acrylic yang berfungsi sebagai ikat pinggang.
“Orang tersebut adalah Bapak. Yang dalam beberapa tahun ke depan akan menguasai nuklir dunia. Dan tugas saya adalah mencegah hal itu terjadi, karena akan banyak terjadi pertumpahan darah.” jelasku dengan suara rendah.
Kemudian, dengan gerakan yang cepat kutebaskan logam tajam tersebut ke leher Bapak Presiden. Bapak Presiden yang sebelumnya terkejut karena pernyataanku menjadi sangat terkejut ketika kepalanya hampir putus.
“Mas… kur.. bedebah… kk..kk..aauuu.” suaranya tenggelam oleh darah yang kemudian bercucuran bersimbah-simbah ke conblock taman.
Dari kejauhan, pasukan pengaman presiden langsung berlari ke arahku. Beberapa malah pengunjung taman yang sebelumnya kukira adalah orang biasa. Mereka mengacungkan senjata. Kemudian timah panas tiba-tiba bersarang di kakiku dan perut sebelah kananku. Aku rubuh.
Seorang tentara memukulkan popor senapannya ke tengkuk kepalaku. Tiba-tiba saja dunia ini gelap. Dan aku melayang-layang dalam kegelapan.

#6
Aku bisa melihat masa depan, sehingga aku bisa meramalkan jalan hidup mana yang hendak kuambil. Oleh karena itu aku bisa hidup sampai detik ini, meskipun aku telah berhasil membunuh orang nomor satu di negeri ini. Benar kata ilmuwan Einstein sialan itu (tentu aku mengetahuinya dari pembelajaran Olimpiade Fisika). Dunia ini adalah pilihan, dan tiap pilihan telah membentuk dunianya sendiri-sendiri. Mungkin aku telah mati di dunia parallel yang lainnya. Tapi sekarang aku masih hidup.
Pelarianku dari penjara menyusuri lorong-lorong gelap saluran air bawah tanah berhasil. Tentu dengan perkiraan-perkiraan mengenai visiku di masa depan.
Aku terkapar di tengah jalan setelah keluar dari saluran air bawah tanah yang hitam. Di seberang, di bangku pinggir jalan, seorang wanita berambut panjang tengah duduk sendirian. Tengah malam. Dalam sepi yang memasung pekat. Entah siapa, dan darimana, wanita tersebut menghampiriku. Mengusapiku. Kemudian tiba-tiba badanku melayang. Menolak gravitasi bumi ini. Ya, kami benar-benar terbang!

#7
Adalah ganjil mengetahui bahwa dunia ini dihuni oleh orang-orang yang mempunyai kemampuan super yang luar biasa. Ezraeli Divine, begitu dia menyebut dirinya. Wanita dengan kemampuan terbang. Terbang tanpa sayap atau alat bantu apapun!
Pertemuan dengannya yang telah membuatku tenang. Persetan dengan Negara ini. Aku juga ingin mempunyai kehidupan yang normal. Memadu kasih dan berkeluarga seperti kebanyakan orang. Namun, ada pertanyaan yang menggangguku akhir-akhir ini dan selalu menggelayut dalam pikiranku.
Suatu waktu, saat kami terbang berkeliling kota Jakarta yang penuh dengan kekacauan, kami singgah di atas gedung wakil rakyat.
“Mas, kita adalah orang-orang spesial. Aku tidak mau terus seperti ini. Aku ingin hidup normal, Mas.” papar Divine.
“Tentu. Tentu aku ingin seperti itu. Mari kita arungi sisa hidup kita di dunia yang fana ini.” jawabku.
“Mas, benarkah dunia ini fana?” tanyanya.
“Ya, setauku.” “Kita pasti akan mati.” jawabku.
“Mas, apakah engkau bisa melihat masa depan setelah mati? Adakah dunia yang indah setelahnya?” tanya Divine kemudian.
Aku terdiam. Lama. Kuingat-ingat, memang aku tidak pernah melihat setelah kematian. Bahkan untuk menemui kematian aku sudah berkali-kali meninggalkannya.
“Belum, Divine. Aku belum mengetahuinya.” jawabku jujur.
“Mas, aku ingin mengetahuinya. Maukah kamu mengetahuinya?” pertanyaan Divine tidak kujawab. Namun terus terpatri dalam sel kelabuku.

#8
“Divine, bangun Divine, sayang..” Aku sedikit menggerakkan badannya yang sedari tadi tertidur di pelukanku.
“Ya, ada apa, Mas?” tanya Divine sambil mengucek kedua matanya, indah, sangat indah..
“Aku punya ide. Aku ingin sekali melihat kehidupan setelah kematian.” jawabku mantap. Divine terlihat keheranan.
“Apa, mas?! Serius mas akan melakukannya?”
“Ya, tentu. Disini. Malam ini. Kita bersama-sama.” Aku tersenyum yakin.
“Sebentar, Mas. Ini berarti mas akan mati? Sudah bosankah mas hidup?” Divine masih tidak yakin dengan rencanaku.
“Bukan. Ini bukan masalah bosan hidup atau ingin mati. Ini untuk mengobati ketidaktauanku mengenai suatu hal. Apalah arti hidup apabila aku tidak mengetahui suatu masa depan yang seharusnya aku tahu.” jelasku. “Kau tidak keberatan, kan?” tanyaku kemudian.
“Tentu tidak, Mas. Kita akan bersama, meskipun kematian adalah medianya.” jawab Divine yakin.
Kupeluk Divine erat-erat. Udara malam ibukota menghembus keras. Dari ujung monas ini aku memejamkan mata. Berpelukan bersama Divine kemudian bersama-sama menjatuhkan diri.

***
Ringan, sangat ringan jatuh dari ketinggian. Udara berloncatan di sekitar telingaku. Divine semakin erat memelukku. Seratus meter sebelum jatuh, kira-kira, aku mendapatkan bayangan.
Tiba-tiba menyeruak dua buah sayap hitam dari belakang lengan Divine. Panjang, sepanjang helaan sayap pesawat terbang. Tiba-tiba ia membawa tongkat. Tongkat hitam panjang dengan pisau besar melengkung di ujungnya. Seram. Berubah menyeramkan wajahnya. Tiba-tiba, seringainya begitu menyayat hati. Kemudian seakan ditusuk oleh seribu pedang aku merasakan sakit tiada tanding. Aku sekarat. Dijemput oleh maut.
Sesaat sebelum jatuh kulihat wajah Divine yang masih dalam pelukan. Ia tersenyum. Sangat getir. ***

Cilacap, 11-16 September 2010
M. Nurcholis adalah penikmat sastra. Tinggal di kalibata dan sebentar lagi akan melepas masa lajangnya. Tulisannya berbentuk cerpen dan puisi dipublikasikan di iberbagai media, terangkum dalam blog pribadinya: http://www.kolasecerita.wordpress.com. Buku puisi terbarunya berjudul “Seseorang” dapat diunduh secara gratis di: http://kolasecerita.files.wordpress.com/2011/12/buku-puisi-pernikahan.pdf

Editor :
Jodhi Yudono

Posted in cerpen | Leave a comment